Teriakan Bilou Mentawai Jadi Deteksi Dini Tsunami


Suara "nyanyian" bilou (Hylobates klossii), sejenis kera endemik di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, secara turun temurun dipercayai warga lokal sebagai pertanda akan datangnya bencana. Fenomena ini bisa menjadi peringatan dini misalnya pertanda akan datangnya gelombang tsunami.

Program penyadaran kearifan lokal di Mentawai itu mulai disosialisasikan SurfAid Australia, sebuah LSM internasional peduli bencana. Manajer Program Penanggulangan Bencana LSM Internasional SurfAid Australia di Kepulauan Mentawai, Wawan Budianto, mengatakan, SurfAid melaksanakan program tersebut di Mentawai sejak 2007.

Ia menjelaskan, dari pantauan SurfAid di sejumlah daerah di Kepulauan Mentawai diketahui masyarakat lokal telah memiliki kearifan lokal sistem deteksi dini bencana dari gejala alam sekitar yang didominasi hutan tropis. Masyarakat memercayai jika mendengar suara binatang itu dengan alunan bunyi tertentu maka dianggap sebagai pertanda akan ada bahaya.

Bilou adalah jenis kera unik menyerupai siamang endemik yang hanya dijumpai di Kepulauan Mentawai. Sekujur tubuh bilou dipenuhi rambut hitam dan di bagian mata berbulu putih. Sebagai primata endemik, bilou kemudian ditetapkan sebagai binatang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia maupun dunia termasuk oleh masyarakat lokal Mentawai.

"Sejak turun temurun, masyarakat lokal Mentawai dilarang berburu bilou," kata Wawan.

Ia menyebutkan, selain untuk deteksi bencana, suara bilou juga pertanda dihentikannya kegiatan perburuan binatang di hutan Mentawai. "Jika ada warga berburu lalu mendengar suara bilou, maka mereka harus menghentikan perburuan, karena jika dilanjutkan akan ada bahaya," tambahnya.

Mentawai termasuk daerah rawan tsunami saat ini. Dari pendataan SurfAid diketahui sekitar 16.000 warga Kepulauan Mentawai bermukim di kawasan pesisir yang rawan bencana tsunami.

Populasi Owa Jawa Semakin Terancam


Owa Jawa (Hylobates moloch) atau lebih dikenal Javan Gibbon masih berada dalam kondisi terancam punah. Jumlahnya diperkirakan sekitar 4.000-5.000 ekor. Saat ini, Owa Jawa hanya hidup di tiga taman nasional dan sekitar 30 cagar alam di Jawa bagian barat dan tengah.

Demikian dikatakan Jatna Supriatna, Koordinator Internasional Konse rvasi Indonesia, menanggapi perkembangan populasi Owa Jawa sebagai salah satu satwa endemis Jawa bagian barat.

Menurut Jatna, karena jumlah yang sangat sedikit, Owa Jawa masuk dalam kategori terancam punah (Critical Endangered). Saat ini, saat ini, Owa Jawa terdistribusi terbatas di tiga taman nasional, Ujung Kulon, Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Halimun. Selain itu, beberapa Owa hidup di cagar alam seperti Simpang , Papandayan, Talaga Warna, Tilu, Kendeng, dan Slamet.

Menurut Jatna, kendala terbesar dalam perlindungan Owa Jawa adalah berkurangnya habitat di Jawa karena kerusakan hutan dan konversi lahan pertanian. Beberapa contohnya antara lain pengurangan lahan hutan di beberapa tempat. Pada tahun 2001, terdata pengurangan 15 persen dari 15.000 hektar hutan di Simpang, 4 persen dari 76.100 hektar di Ujung Kulon, dan 2,5 persen dari 42.000 hektar hutan di Halimun.

Selain itu karena masih ada yang ingin memelihara, biasanya hanya mengambil bayi dan membunuh induk. Padahal, bila sudah besar pemelihara kewalahan karena gigi taring sangat besar. Akibatnya, Owa seringkali dibiarkan terlantar, katanya.

Untuk meminimalkan kepunahan, saat ini, di Pusat Rehabilitasi dan Penyelamatan Owa Jawa Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat dipelihara 27 ekor Owa Jawa. Dalam waktu lima tahun terakhir, tugas uatama pusat rehabilitasi menjodohkan antar Owa Jawa. Saat ini sudah ada 10 pasangan dan siap dikembalikan ke alam. Alasannya, selain hewan monogami, Owa Jawa tidak akan dapat bertahan bila dilepas di hutan tanpa berpasangan. Hal ini terkait proses perkawinan dan perlindungan wilayah.

"Saya pernah melihat Owa Jawa yang tidak mau pindah ke tempat lain walaupun teritorinya tinggal 10 persen. Potensi itu akan menyebabkan Owa akan mati kelaparan," katanya.

Akan tetapi, pusat rehabilitasi, ini tetap tidak cukup besar efeknya melindungi Owa Jawa. Diperlukan penanganan hukum ketat di Jawa, khususnya tidak memelihara Owa secara pribadi.

Selain itu, ke depannya, pemerintah daerah yang mempunyai populasi Owa Jawa diharapkan mempunyai kebijakan sejalan dengan Pemerintah pusat. Pemda bisa membuat sesuatu yang lebih baik dengan meningkatkan daerah yang masih berhutan. Diantaranya, pengembangan ekoturisme atau pun dengan kepentingan lain.