Path of Joy, Harmony and Beauty


Mendalami cinta seperti menggali Sumur.
Ditempat dangkal adanya lumpur,
Ditempat dalam ada kejernihan

--------------------

Siapa saja yang memiliki harta
jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan,
hidupnya pasti sangat rumit.

---------------------

Mau bahagia sejam? Tidurlah
Sehari? Mancinglah
Sebulan? Kawin lagi
Setahun? Minta warisan
Bahagian Selamanya? Cintai orang lain


--------------------

Tidak sombong ketika di atas,
tidak sedih ketika di bawah.
Itulah kebahagiaan yang paling mencerahkan


---------------------

Kecantikan sejati ada di dalam sanubari
tapi kearifan sejati adalah bagaimana melatih di dalam diri


---------------------

Esensi bunga adalah madu,
esensi susu adalah mentega.
Dan esensi pengetahuan adalah perfect wisdom


----------------------

Hidup mirip dengan sekolah.
Ketika badai datang, itu tanda sedang ulangan umum.
Begitu selesai, ketika naik kelas.

----------------------

Seperti pelukis, kita melukis diri kita setiap hari
melalui ucapan-ucapan.
So speak good or be silent

---------------------

Jembatan terpendek yang menghubungkan kita dengan Tuhan, bernama Cinta dan Keikhlasan.

----------------------

Kejujuran, ketulusan, keikhlasan jauh lebih berguna dari praktek meditasi manapun.

----------------------

Yang lahir akan mati, yang datang akan pergi,
tapi ada yang tidak pernah lahir dan tidak pernah mati,
tidak datang tidak pergi: Cinta!

Memaknai Peristiwa Hidup


"Every adversity, every unpleasant circumstance, every failure, and every physical pain carries with it the seed of an equivalent benefit”.
(Ralp Waldo Emerson)

Kalimat bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami kegagalan maka hanya sedikit individu yang bisa mengaplikasikan makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sama halnya dengan kata bijak yang lain: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?

Gagal & Sukses
Jika kita mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan diperkenalkan oleh sejarah maka cenderung diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, ‘hidden potential events’ yang tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan, tantangan atau pelajaran. Apapun makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula bahwa hidup ini lebih pada memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.

Berdasarkan hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham Lincoln baru mencapai cita-cita politiknya pada usia 52 tahun; Soichiro Honda yang sampai cacat tangannya gara-gara mendesain piston; atau Werner Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan 65.121 kali. AMROP International, perusahaan pencari eksekutif senior yang berkantor di 78 negara di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang fluktuasi emosi pencari kerja dari sejak di-PHK sampai menemukan pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi sebanyak 26 kali dengan asumsi waktu minimal enam bulan.

Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang. Lalu apa pembeda antara perjuangan tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah" dunia dengan perjuangan yang dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang barangkali terjadi hanya sepersekian persen?

Menyikapi Kegagalan
Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Membiarkan
Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki kemauan yang dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang digunakan untuk memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.

2. Menolak
Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.

3. Menerima
Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas yang tinggi. Di sini kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu saja bukan berarti bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu. Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for changing them."

Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian faktor antara lain:

a. Lingkungan
Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan hidup secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau peradaban yang membentuknya. Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.

b. Sistem Struktural
Selain lingkungan, faktor sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga ikut andil terutama membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada khususnya. Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana seseorang menjadi ‘the cause’ dari peristiwa hidup sementara mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai ‘the effect’.

c. Personal
Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural, tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif sehingga peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol ‘seleksi’ dan ‘pengecualian’ dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk merusak atau mandul.

Memaknai Kegagalan
Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. 

Dalam hal memaknai kegagalan, kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar dapat membantu adalah:

1. Menciptakan Kondisi
Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya, dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri. Kualitas conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil, rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini adalah balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar. Kata kuncinya bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri, belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir. Ciputra.

2. Menciptakan Perbedaan
Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
Sumber daya material: fisik, raga
Sumber daya intelektual: nalar
Sumber daya emosional: sikap perasaan
Sumber daya spiritual: hati, rohani
Sumber daya mental: daya dobrak
Sumber daya visual: imajinasi
Sumber daya verbal: komunikasi
Sumber daya social: relationship
Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural
Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk dijalankan karena sifat manusia yang ingin ‘jump to conclusion’ mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran mendengarkan musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.

3. Menggunakan Kemampuan Baru
Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik kemampuan hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof. Hamka. Mungkin – ini hanya pengandaian – kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40 tahun, mungkin karya berseri berjudul “The Chicken Soup for Soul” yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen.

Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.

Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak

Cukupkah Berpikir Positif?

Antara Jalan dan Tujuan
Abraham Maslow pernah mengeluarkan nasehat bahwa salah satu yang penting untuk diingat bagi siapa pun yang ingin mengaktualisasikan potensinya adalah membedakan antara jalan dan tujuan dalam praktek hidup. Dalam teori, pasti semua orang sudah tahu apa itu perbedaan antara jalan dan tujuan, tetapi dalam praktek, jawabnya belum tentu.
Andakaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara jalan dan tujuan dalam praktek, tentulah ilmu manajemen tidak sampai berpetuah: “Jangan menjadikan aktivitas sebagai tujuan”. Aktivitas adalah jalan, cara atau sarana sedangkan tujuan adalah sasaran yang hendak kita wujudkan dengan cara yang kita terapkan. Aktivitas bukanlah tujuan dan tujuan bukanlah aktivitas, dan karena itu perlu dibedakan.
Andakaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara cara dan tujuan dalam praktek, tentulah Thomas Alva Edison tidak sampai berpetuah: “Jangan hanya menenggelamkan diri pada kesibukan demi kesibukan tetapi bertanyalah tujuan dari kesibukan yang Anda jalani.” Kesibukan kerapkali melupakan kita akan tujuan dari kesibukan itu dan karena itulah maka perlu diingatkan.
Dalam kaitan dengan pembahasan kali ini, mungkin sekali-sekali kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah berpikir positif itu jalan atau tujuan? Menggunakannya sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani sedangkan menggunakannya sebagai tujuan berarti kita cukup hanya sampai pada tahap menciptakan pikiran positif atas kenyataan buruk di tempat kerja, di sekolah, di kampus dan di mana-mana.
Strategi Memilih
Memilih sebagai jalan atau tujuan, sebenarnya adalah hak kita. Tidak ada orang yang akan melaporkan kita ke polisi dengan memilih salah satunya. Tetapi kalau kita berbicara manfaat yang sedikit dan manfaat yang banyak maka barangkali sudah menjadi keharusan-pribadi untuk selalu mengingat bahwa berpikir positif itu adalah jalan yang kita bangun untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Logisnya bisa dijelaskan bahwa jika jalan yang kita pilih itu positif, maka perjalanan kita menuju terminal tujuan juga positif atau terhindar dari hambatan-hambatan negatif akibat dari kekeliruan kita dalam memilih jalan. Begitu ‘kan?
Hal ini agak berbeda sedikit dengan ketika kita memilihnya sebagai tujuan. Dibilang baik memang sudah baik dan dibilang untung memang sudah untung. Untung yang paling riil adalah mendapatkan suasana batin yang positif atau terhindar dari hal-hal buruk yang diakibatkan oleh pikiran negatif. Dale Carnegie menyimpulkan: “Ingatlah kebahagian tidak tergantung pada siapa dirimu dan apa yang kamu miliki tetapi tergantung pada apa yang kamu pikirkan.”
Hanya saja, jika ini dikaitkan dengan persoalan mengaktualkan potensi atau meraih prestasi yang lebih tinggi di bidang-bidang yang sudah kita pilih, tentulah masih belum final. Mengapa? Perlu disadari bahwa suasana batin yang sepositif apapun tidak bisa mengaktualisasikan potensi sedikit meskipun kalau suasana batin kita keruh akibat pikiran negatif, maka usaha kita untuk mengaktualisasikan potensi itu dipastikan terhambat. Jangankan potensi, sampah pun, menurut Tom Peters, tidak bisa dibuang oleh pemikiran yang jenius atau oleh strategi yang jitu.
Bahkan menurut Charles A. O'Reilly, Professor, Stanford Graduate School of Business, dunia ini tidak peduli dengan apa yang kita tahu kecuali apa yang kita lakukan. Puncak dari kehidupan ini adalah tindakan, bukan pengetahuan. Mahatma Gandhi menyimpulkan bahwa ukuran penilaian manusia yang paling akhir adalah aksi, titik. Ini sudah klop dengan penjelasan Tuhan bahwa kita tidak mendapatkan balasan dari apa yang kita khayalkan (fantasi) melainkan dari apa yang kita usahakan.
Rahasia Berpikir Positif
Dengan memiliki suasana batin positif, maka ini akan menjadi sangat kondusif (mendukung) untuk menjalankan proses positif berikutnya, yang antara lain:
1. Pelajaran
“Hukum Tuhannya” mengatakan bahwa pelajaran positif itu ada di mana-mana sepanjang kita mau menggali dan menyerapnya: di balik kesalahan, kegagalan, penghianatan orang lain atas kita, di balik musibah buruk yang menimpa kita dan seterusnya. Hanya saja, meskipun pelajaran positif itu ada di mana-mana, tetapi prakteknya membuktikan bahwa pelajaran positif itu tidak bisa kita serap kalau batin kita sudah keruh oleh pikiran-pikiran negatif.
Mendapatkan pelajaran positif memang tidak langsung mengangkat prestasi kita tetapi kalau kita ingin mengubah diri kita untuk menjadi semakin positif maka syarat mutlak yang harus dimiliki adalah menambah jumlah dan kualitas pelajaran positif yang kita serap, seperti kata Samuel Smile dalam salah satu tulisannya: “Tidak benar jika orang berpikir bahwa kesuksesan diciptakan dari kesuksesan. Seringkali kesuksesan dihasilkan dari kegagalan. Persepsi, study, nasehat dan tauladan tidak bisa mengajarkan kesuksesan sebanyak yang diajarkan oleh kegagalan.”
2. Keputusan
Satu kenyataan buruk yang kita hadapi pada hakekatnya tidak mendekte kita harus mengambil keputusan tertentu tetapi menawarkan pilihan kepada kita. Tawaran itu antara lain adalah: a) boleh memilih keputusan untuk mundur,b) boleh memilih keputusan untuk mandek / kembali ke semula dan c) boleh memilih keputusan untuk terus melangkah dengan menyiasati, mencari celah kreatif, dan lain-lain.
Nah, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki untuk melahirkan keputusan yang nomor tiga adalah memiliki batin yang kondusif dan positif. Kita saksikan sendiri di lapangan bahwa meskipun semua orang punya keinginan untuk memilih keputusan nomor tiga, tetapi karena hanya sedikit orang yang punya kemampuan menghilangkan pikiran negatif, maka prakteknya justru keputusan nomor dua atau nomor satu yang menjadi pilihan favorit.
Jika dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, ada hal yang tidak bisa diingkari bahwa semua orang setiap saat telah memilih keputusan tertentu tentang apa yang akan dilakukannya. Dari keputusan yang dipilih itulah lahir sebuah tindakan yang menjadi penyebab sebuah hasil. Karena itu ada saran Brian Tracy yang patut kita renungkan bahwa yang menentukan nasib kita itu bukan apa yang menimpa kita melainkan keputusan yang kita ambil atas apa yang menimpa kita. Artinya, keputusan mundur akan menghasilkan kemunduran; keputusan mandek akan menghasilkan kemandekan dan keputusan maju akan menghasilkan kemajuan.
3. Keteraturan langkah
Apa yang menyebabkan langkah kita terkadang mudah diserang virus keputusasaan dan kepasrahan? Apa yang terkadang membuat kita mudah bongkar-pasang rencana hanya karena mood sesaat? Sebab-sebabnya tentu banyak tetapi salah satunya adalah pikiran negatif. Sekuat apapun fisik kita atau sekuat apapun keinginan kita untuk mewujudkan tujuan, biasanya akan tidak banyak membantu apabila pikiran ini sudah penuh dengan kotoran negatif. Kita menjadi orang yang putus asa bukan karena kita tidak mampu bertahan, melainkan karena kita telah mengambil keputusan yang fatal.
Nah, dengan menciptakan pikiran positif atas hal-hal buruk yang menimpa kita setidak-tidaknya ini menjadi bekal buat untuk melakukan hal-hal positif secara terus menerus dalam arti tidak mengandalkan perubahan keadaan atau tidak mudah disakiti oleh pukulan keadaan. Seperti pesan Denis Waitley, “Bukan dirimu yang menjadi penghambat kemajuanmu tetapi muatan pikiran yang kamu bawa.”
Dari pesan itu mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa pikiran negatif yang kita bawa atau yang kita biarkan itulah yang terkadang menjadi penghambat langkah kita atau mengganggu kelancaran langkah kita dalam menapaki tujuan yang sudah kita tetapkan. Karena itu paslah jika ada permisalan yang menggambarkan bahwa pikiran negatif itu akan memberikan kotoran di dada kita. Dada yang penuh dengan kotoran yang kita biarkan akan membuat punggung kita terbebani oleh muatan-muatan yang memberatkan lalu mengakibatkan langkah ini tidak selancar seperti yang kita inginkan.
Apa Yang Perlu Dijalani ?
Di atas sudah kita singgung bahwa menggunakan pikiran positif sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani. Apa yang perlu untuk dijalani?
1. Temukan pelajaran spesifik
Entah sadar atau tidak, kerapkali istilah berpikir positif ini hanya kita praktekkan sebatas berprasangka baik, meyakini adanya hikmah yang mencerahkan, atau sebatas punya opini positif. Tentu ini sudah benar dan sudah baik tetapi kalau kita kaitkan dengan hasil sedikit dan hasil yang lebih banyak, maka proses positif yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan pikiran kita untuk menemukan pelajaran-pelajaran spesifik yang benar-benar cocok dan relevan dengan keadaan-diri kita pada hari ini.
Sebut saja misalnya kita gagal dalam usaha. Memang sudah benar kalau kita berpikir bahwa di balik kegagalan itu ada hikmah buat kita. Hanya saja hikmah di sini mengandung pengertian yang seluas isi daratan, alias masih umum. Kegagalan usaha kita bisa disebabkan oleh waktu yang belum tepat, kesalahan memilih orang, kurang gigih, kurang skill, keadaan eksternal yang di luar kontrol, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kita menyerap hikmah secara keseluruhan dalam satu waktu, maka yang paling penting adalah menyerap hikmah yang relevan saja sebagai bahan mengoreksi diri.
2. Gunakan dalam hal spesifik
Banyak pengalaman yang sudah menguji bahwa memiliki rumusan tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan, ternyata memiliki manfaat cukup besar bagi proses positif. Dengan kata lain, untuk bisa menggunakan pelajaran yang sudah kita serap menuntut adanya rumusan tujuan yang kita upayakan realisasinya. Tanpa ini, mungkin saja pelajaran positif yang kita temukan itu akan nganggur alias kurang banyak manfaatnya.
J.M. Barrie memberikan contoh dari pengalamannya: “Selama lebih dari 30 tahun saya memimpin, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting di sini adalah memiliki kemampuan yang saya sebut “kegagalan maju”. Kemampuan ini bukan sekedar memiliki sikap positif terhadap kesalahan. Kegagalan maju adalah kemampuan untuk bangkit setelah anda dipukul mundur, kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan kemampuan untuk melangkah maju ke arah yang lebih baik.”
Dengan kata lain, agar kita bisa menjadikan kegagalan kita sebagai dorongan untuk meraih kemajuan tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran positif dan sikap positif atas kegagalan itu, melainkan dibutuhkan upaya kita untuk menggunakan pelajaran yang sudah kita dapatkan dalam usaha meraih keinginan berikutnya. Pelajaran, pengetahuan, dan petunjuk pengalaman yang tidak kita gunakan untuk membimbing praktek kita pada hari ini akan menjadi dokuman yang nilai dan manfaatnya kurang.
3. Membuka diri
Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa pelajaran positif yang ada di balik satu masalah, satu kenyataan buruk, atau di balik peristiwa yang kita alami dalam praktek hidup itu sangatlah tidak terbatas, tidak tunggal, tidak mono, dan karena itu sering disebut petunjuk (hidayah). Saking banyaknya itu, maka tidak mungkin ruangan miliki kita bisa sanggup menyerap seluruhnya dan sekaligus sehingga yang dibutuhkan adalah membuka diri atas berbagai pelajaran positif yang diwahyukan oleh kesalahan kita, kesalahan orang lain yang kita lihat, temuan ilmu pengetahuan, nasehat, dan seterusnya.
Cak Nur pernah berpesan: “Sikap terbuka adalah sebagian dari pada iman. Sebab seseorang tidak mungkin menerima pencerahan dan kebenaran jika dia tidak terbuka.” Sikap terbuka menurut Ajaran Kejawen (Javanese Spiritual Doktrine)merupakan syarat untuk mengarungi jagat “kaweruh” (sains, tehnologi, dst). “Syarat utama bagi pelajar adalah memiliki kemampuan dalam menghilangkan atau menyimpan untuk sementara waktu pemahaman dogmatis yang telah dimiliki dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati-pikiran untuk merambah jagat ilmu pengetahuan". Selamat menggunakan!!!